Skip to main content

Catatan Prajurit di daerah Konflik #3

suasana Ambon di saat konflik


Hari Pertama di Ambon


Tetesan air hujan dipagi hari, diiringi gema rentetan suara tembakan dan dentuman bom, seakan mengucapkan selamat datang menyambut kehadiran saya di tanah Ambon yang saat itu tengah dilanda konflik. Meskipun kedatangan saya sebelumnya sudah diinformasikan ke atasan, namun tidak seorang pun anggota yang datang menjemput di pelabuhan. Saya dapat mengerti, dengan kondisi yang sedang rusuh dan berbahaya itu, orang lebih memilih menyelamatkan diri sendiri daripada memikirkan keselamatan orang lain.



Dalam kebingungan hendak kemana langkah mau ditujukan, prajurit Yonif Linud 733 menawarkan agar saya ikut mereka saja ke asrama.
" Komandan, ikut kami saja, nanti diasrama akan kami perkenalkan dengan perwira atasan"
Tanpa banyak kkomentar dan berfikir lagi, ajakan tersebut langsung saya terima. Saya ikuti langkah mereka berlari kecil membelah hujan menuju angkot. Dengan mencarter angkot kami keluar pelabuhan menuju asrama Yonif Linud 733 (sekarang Yonif 733 Raiders) di Benteng New Victoria (sekarang menjadi Markas Denkav XVI/Pattimura).



Angkot melaju kencang dan zig zag menghindari container-container yang bertebaran ditengah ruas jalan sebagai batas kelompok yang tengah berseteru dan juga mungkin sebagai tempat perlindungan dari tembakan. semua kami merunduk dalam angkot, seorang prajurit mengingatkan,
" Merunduk lebih dalam lagi Komandan, jangan sampai kena tembakan!"
Dimana-mana suara tembakan bergemuruh diselingi dentuman bom, entah organik atau rakitan. Satu dua terdengar menhantam angkot yang kami naiki. Saya tidak berani mendongakkan kepala untuk mengetahui dari mana asal tembakan tersebut. Kepala dan badan hampir rata dengan lantai angkot, dalam hati saya berdoa, " Ya Allah selamatkanlah kami".



Diatas angkot, seorang anggota berkomentar,
" Hati-hati Komandan, coklat adalah musuh kita!"
Saya sempat bingung dengan apa yang baru dijelaskan. Kemudian saat dijelaskan baru saya mengerti, maksudnya saat itu di Ambon Polisi/Brimob yang disebut dengan julukan "Coklat" tengah berkonflik dengan TNI yang disebut dengan "Hijau". Prajurit tersebut meyakini, bahwa diantara suara-suara tembakan tersebut berasal dari bangunan bertingkat yang diduduki oleh para sniper kelompok coklat, dan yang jadi sasaran utamanya adalah kelompok hijau. Saya sempat bingung memperoleh penjelasan prajurit tersebut.
" Sampai separah itukan kondisi di Ambon? Mudah-mudahan TNI-Polri masih akur-akur saja", bisik saya dalam hati.



Dari berbagai informasi yang saya peroleh, baik melalui media maupun warga Ambon sesama penumpang kapal dan prajurit yang bertugas di Ambon, saya jadi bingung sendiri dengan begitu banyaknya kelompok yang terlibat dalam konflik Maluku. Ada kelompok Putih (Muslim), Kelompok Merah (Nasrani), Kelompok Coklat (Polri), Kelompok Hijau (TNI), Kelompok Kuning (Kesultanan Ternate), Kelompok Merah/Putih (Aparat yang netral), bahkan Kelompok Siluman yang tidak memperlihatkan warna kelompoknya dan bisa hadir dimana-mana. Kelompok terakhir inilah yang menurut hemat saya paling berbahaya, ia bagaikan bunglon yang berganti-ganti warna, dengan tujuan yang sulit diterka. Sebutan Provokator mungkin paling pas buat mereka. Ditengarai kelompok provokator inilah yang membuat konflik di Maluku berlarut-larut dan sulit diatasi.



Kami masuk asrama Benteng New Victoria melalui jalan belakang yang dikuasai oleh kelompok putih, sedangkan jalan didepan benteng dikuasai oleh kelompok merah. Angkot tidak bisa masuk karena terhalang kenderaan Feroza mobil dinas Kodam yang terparkir dijalan masuk asrama. Diantara prajurit ada yang langsung menuju asrama tanpa memperdulikan hujan yang belum juga reda, mungkin untuk mengabari ke salah seorang perwira Batalyon bahwa ada seorang perwira yang baru saja datang di Ambon dan tengah kebingungan mau kemana.



Namun sebelum prajurit tersebut kembali, sopir mobil Feroza yang dikendarai oleh PM tersebut datang menghidupkan mobil dan siap berangkat. Buru-buru saya tanya,
" Eh, mau kemana ini?"
" Ke Mess Perwira Pak!"
Mendengar mess perwira, sayapun tidak berfikir panjang.
" Saya ikut!"
" Silahkan, Pak" ujarnya.



Melebihi kecepatan angkot yang saya naiki tadi, mobil dinas ini dilarikan dengan kencang dan zig zag.
" Maaf pak, mobil harus kencang biar tidak kena bidikan tembakan. Bapak merunduk saja!" ujar PM tersebut.
Saya sempat mengintip keluar,beberapa orang berpakaian preman tengah menenteng senjata laras panjang, ada yang berkelompok beberapa orang dibelakang box container, entah diposisi bertahan atau menyerang. Yang jelas container yang ditumpuk ditengah jalan tersebut seakan menjadi pembatas antara wilayah kelompok merah dan kelompok putih.



Tidak lama, kami sampai ke Mess Perwira. Keadaan sepi. Besar kemungkinan sebagian perwiranya sudah mengungsi, dan boleh jadi Feroza barusan habis mengantarkan perwira yang mengungsi ke Benteng Victoria. Rupanya mess perwira berdampingan dengan rumah dinas Pangdam dan Kasdam. Letak mess tersebut dijalan Dr. Latumentan, dihadapan RST. Karenanya, didaerah tersebut ditempatkan pos TNI menjaga kediaman Pangdam dan diberi barikade, makanya jalan tersebut terlihat sepi dari lalu lalang massa yang tengah bertikai. Namun daerah menjadi semacam lintasan peluru, karena jalan didepan kediaman Pangdam dan RST menjadi semacam garis batas tidak resmi antara kelompok yang tengah bertikai. Kami berada ditengah-tengahnya!



Seorang prajurit jaga yang saya temui di mess menyarankan agar saya menghadap Aspers yang kebetulan ada diteras mess sebelah. Saya agak ragu mendapati seorang yang tengah duduk dikursi sorang diri tengah melamun. " Apa ini Aspers kodam atau bukan ya tanya saya dalam hati ketika menyaksikan seorang bapak mengenakan training dan sandal jepit, badannya kurus dan wajahnya agal pucat, rambutnya acak-acakan. Daripada keliru, lebih baik saya menunjukkan sikap militer, beliau saya sapa,
" Selamat pagi Aspers!" ucap saya lantang sembari memberi hormat.
Dia tidak membalas pengormatan saya, tetapi langsung menyapa dengan suara pelan dan senyum yang diupayakan,
" Dari mana dik, ada perlu apa?" tanyanya ramah.
" Siap ijin laporan,baru usai kaskus dapat perintah bergabung dengan Kodam XVI/Pattimura, baru sampai pagi ini menggunakan KM.Bukit Siguntang, mohon petunjuk Pak!"
" Ngapain kamu kesini?" ujar Aspers Kolonel Inf. Supriyadi (Pensiun Mayjen TNI) yang saat itu ternyata lagi sakit sambil menggeleng-gelengkan kepala tersenyum prihatin.
" Siap, melaksanakan perintah pak!" jawab saya.
Sepertinya ia tidak perduli jawaban saya, katanya,
" Biasanya jam segini sudah jeda tempur dik, ngga tau nih kok sampai sekarang belum reda juga ya?"
Tidak ada petunjuk yang beliau sampaikan, hanya menyuruh saya istirahat dan mencari tempat bila masih ada kamar yang bisa ditempati. Diluar, suara tembakan masih terdengar ramai. Berbagai jenis senjata terdengar sahut-menyahut tidak kunjung reda. Ada yang ditembakkan satu-satu, ada juga yang rentetan. Sekali-kali terdengar gelegar suara ledakan bom.



" Aduh mak, dua kali saya sudah melaksanakan tugas tempur di Timor Timur, namun tidak menemui pertempuran yang sebesar dan seramai ini suara tembakannya", ujar saya dalam hati. Saya teringat saat pra tugas di Timtim dengan Yonif 310, didalam sebuah lembah kami dihujani peluru dari berbagai arah dan jenis senjata. Selanjutnya kami ditanya, tembakan dari arah utara dari jenis senjata apa? Begitu juga dari selatan, timur, dan barat senjata jenis apa? Kmai harus menjawabnya dengan benar dan tidak keliru, sehingga dapat membedakan mana suara tembakan yang menggunakan senjata jenis M16, SS1,SP,G3,FN, dan lain-lain.



Hari itu di Ambon saya benar-benar bingung, karena dari suara tembakan begitu beraneka ragamnya senjata yang digunakan. "Senjata dari mana ya?" pikir saya. Kemudian saya mendapat jawaban dari anggota yang menjaga mess bahwa dua hari sebelumnya, Gudang Senjata Brimob di Tantui dijarah massa. Sebagian besar senjatanya jatuh ke kelompok merah, sisanya ke kelompok putih. Belum lagi senjata rakitan yang juga ribuan banyaknya, sehingga dapat dimaklumi bila hari itu pertempuran dan suara tembakan benar-benar Cumiak kan telinga.

Saya akhirnya menempati kamar paling ujung dibelakang, yaitu kamar Kapten Caj. Sutarno yang kebetulan lagi melaksanakan Piket Makodam, namun tidak bisa pulang karena terkurung dan terjebak dalam pertempuran. Saat saya mengontak yang bersangkutan untuk minya ijin, ia menjawab,
" Maaf, abang ini lebaran apa natalan?"
Saya bingung mendengar pertanyaannya, setelah dijelaskan barulah saya paham, dia ingin tahu apakah saya Muslim atau Nasrani.
Bila tadi pagi saya mendapat penjelasan dari prajurit 733 hati-hati dengan coklat atau Polri/Brimob yang dianggap musuh, kini saya seakan diminta untuk hati-hati lagi diantara sesama anggota TNI yang berbeda agama.
" Wah, gawat ini Mana mungkin sesama TNI saling curiga dan bunuh!" ujar saya dalam hati. Yang jelas ketika saya bilang saya berlebaran, maka saya langsung diperkenankan istirahat malam itu dikamarnya. 

Saya sulit dan tidak bisa menerima bila prajurit TNI ada yang tidak solid, tidak netral atau memihak. Namun, kenyataannya dilapangan saat itu tidak dapat dipungkiri lagi bila diantara oknum TNI dengan berbagai alasan, satu dua orang ada juga yang terpengaruh sehingga bersikap tidak netral. Tapi secara intitusi netralitas TNI tersebut tetap terjaga dengan baik.

Di Mess siang itu saya berkenalan dan berbincang-bincang dengan beberapa orang perwira senior berpangkat Mayor, ada yang baru datang juga ada juga yang sudah lama berdinas di Ambon. Diantara perwira tersebut, ada yang sampai enggan menjelaskan nama sebenarnya. Karena ada yang sudah menyamar namanya agar bisa diterima di kedua komunitas. Seperti menggunakan nama Bali padahal dia bukan orang Bali. Perbincangan kami terasa kaku dan kurang nyaman. boleh jadi karena nama saya yang terkesan Islami dan perwira senior tersebut kebetulan Nasrani, sehingga aroma perseteruan kelompok putih dan merah yang tengah berlangsung diluar sana terbawa-bawa, membuat kami yang tidak terlibat konflik menjadi kaku juga lantaran berbeda agama.

Hal aneh yang patut disesali saat itu, diantara asrama TNI kemudiannya dihuni oleh para anggota yang beragama yang sama, yang berbeda agama meninggalkan asrama dengan alasan tidak aman. Sepertinya saat itu, asrama TNI dikuasai oleh pemeluk agama tertentu. Dalam keadaan seperti ini, saya menjadi maklum mengapa Kapten Tarno menanyakan saya lebaran apa natalan.

Sore menjelang malam, petempuran belum juga berhenti. Drai radio saya sempat memonitor berkali-kali Pangdam XVI/Pattimura Brigjen TNI Max Tamlea (Pensiun Mayjen TNI) selaku komandan Bantuan Militer mengeluarkan perintah lisan agar semua pihak yang tengah bertikai menghentikan tembak menembak, memerintahkan prajurit dilapangan untuk menjaga perbatasan antara dua komunitas agar tidak saling maju menyerang, dan beberapa perintah lainnya tentang pengamanan objek-objek vital.

Saat malam menjelang mess gelap gulita, begitu juga dengan kota Ambon pada umunya. Hnaya lilin yang digunakan sebagai penerangan disamping senter. Habis menunaikan shalat maghrib dikamar, saya kedepan ke ruang tamu dan ruang telepon yang remang-remang karena redupnya cahaya lilin dan senter. Seorang perwira senior berbadan tegap besar dan berpakaian training, lewat telepon memberikan beberapa petunjuk kepada lawan bicara. Ia terlihat gusar dengan keadaan saat itu yang gelap gulita sementara mungkin banyak yang ia harus kerjakan. Ia mengeluarkan perintah kepada siapa saja yang ia lihat, termasuk saya yang abru datang. Saya hanya bisa menjawab " Siap, tidak tahu!". atas beberapa pertanyaan yang diajukan. Karena saya memang tidak tahu bagaimana listik mati, siapa yang harus dihubung, dan lain-lain.

Beliau semakin gusar karena mengaggap saya apatis, setelah saya jelaskan bahwa saya baru datang tadi pagi dia memakluminya. Keesokan harinya, baru saya tahu bahwa perwira semalam adalah Kolonel Inf. I Made Yasa, yang akan menggantikan Brigjen TNI Max Tamlea sebagai Pangdam XVI/Pattimura.

Usai makan malam, saya menunaikan sholat isya kemudian berzikir dalam kegelapan, saya berserah diri, pasrah kepada ketenyuannya. Diluar suara tembakan tidak juga kunjung berhenti, bahkan semakin menjadi-jadi. Suara mesiu begitu jelas berseliweran diatas mess karena mess yang saya tempati ini posisinya diantara dua kelompok yang tengah bertikai.

Semakin malam, suara bom yang diledakkan semakin banyak bersahut-sahutan, seperti malam takbiran saja ramainya. Saya sungguh tidak bisa memicingkan mata walau sekejap pun, namun juga tidak tahu harus berbuat apa dan kemana. Entah karena lelah, lewat tengah malam saya tertidur.
Bersambung......



di tulis oleh : Erwin Parikesit

photo : google image
sumber :  
Buku hasil catatan pribadi Letnan Kolonel Caj. Hikmat Israr, terbitan Budaya Media Bandung (2012)

Comments

Popular posts from this blog

Catatan Prajurit di daerah Konflik #2

Penempatan di Maluku Saya hubungi lewat telepon Kabintaldam XVI/Pattimura, Letkol Caj. Telelapta, mengabari bahwa saya Kapten Caj. Hikmat Israr dapat tugas jabatan sebagai Kabalak Binatal Bintaldam XVI/Pattimura, dan melaporkan akan berangkat ke Ambon setelah ada Surat Perintah pelepasan dari Pangdam III/Siliwangi dan dari Danbrigif 15 Kujang Siliwangi. Saya tidak tahu apakah Kabintal merasa cemas atau gembira dengan rencana kedatangan saya ke Ambon tersebut. Yang jelas ia mengemukakan situasi Ambon saat itu sangat-sangat gawat, dan kalau berangkat beliau mewanti-wanti agar jangan sampai membawa keluarga, sebab keselamatan diri sendiri saja tidak ada yang bisa menjamin. Karena saya seorang Muslim, saya disarankan untuk berangkat Ke Ambon menggunakan KM. Bukit Siguntang yang nantinya akan berlabuh di Pelabuhan Yos Sudarso, Ambon. Rupanya laut pun sudah terbagi, pelabuhan Yos Sudarso untuk komunitas muslim, dan pelabuhan Halong untuk komunitas Nasrani. Bila saya berang

Istilah istilah bahasa yang di gunakan Nelayan di Indramayu

perahu jenis jegong yang sedang sandar  Sepertinya saya sudah lama menelantarkan tempat ini... maklum sebagai kuli di pelabuhan perikanan kadang memaksaku untuk melupakan sejenak tempat ini, sebenarnya banyak yang ingin ku tuliskan yang ada di benaku sekarang ini tapi untuk kali ini saya pingin mengenalkan istilah istilah bahasa yang ada di lingkungan Nelayan Indramayu yang bagi saya sangat menarik untuk di kenalkan sebab saya yakin istilah istilah tersebut sekarang ini sudah jarang sekali terdengar bahkan oleh nelayan itu sendiri. 1. Ngracek  istilah ini di gunakan untuk sebuah peroses pembuatan sesuatu baik itu pembuatan Perahu atau jaring  contoh  " tukang sing biasa ngracek perahu sing bagus biasane sing Pasekan artinya tukang pembuat perahu yang baik itu berasal dari Desa Pasekan " " kang luruaken tukang ngracek gah angel temen wis rong dina ora olih olih artinya bang carikan orang pembuat jaring dong sudah dua hari tidak dapat dapat "

tradisi Nadran (sedekah laut )

pelarungan meron nadran empang desa Karangsong 2016 Di sepanjang pesisir utara pulau jawa khususnya di sekitar Cirebon, Indramayu dan subang ada tradisi yang namaya nadranan yakni tradisi membuang meron (sesaji) ke tengah laut sebagai ungkapan rasa syukur terhadap sang pencipta atas di berikannya rizki dan keselamatan dan biasanya di laksanakan menjelang musim barat karena biasanya saat tersebut menjelang musim tangkapan ikan. Nadran sendiri merupakan suatu tradisi hasil akulturasi budaya Islam dan Hindu yang diwariskan sejak ratusan tahun secara turun-temurun. Kata nadran menurut sebagian masyarakat berasal dari kata nazar yang mempunyai makna dalam agama Islam yaitu pemenuhan janji. Adapun inti upacara nadran adalah mempersembahkan sesajen (yang merupakan ritual dalam agama Hindu untuk menghormati roh leluhurnya) kepada penguasa laut agar diberi limpahan hasil laut, sekaligus merupakan ritual tolak bala (keselamatan). Asal usul pelaksanaan budaya Nadran berawal pada tah