Skip to main content

Catatan Prajurit di daerah Konflik #2


Penempatan di Maluku
Saya hubungi lewat telepon Kabintaldam XVI/Pattimura, Letkol Caj. Telelapta, mengabari bahwa saya Kapten Caj. Hikmat Israr dapat tugas jabatan sebagai Kabalak Binatal Bintaldam XVI/Pattimura, dan melaporkan akan berangkat ke Ambon setelah ada Surat Perintah pelepasan dari Pangdam III/Siliwangi dan dari Danbrigif 15 Kujang Siliwangi. Saya tidak tahu apakah Kabintal merasa cemas atau gembira dengan rencana kedatangan saya ke Ambon tersebut. Yang jelas ia mengemukakan situasi Ambon saat itu sangat-sangat gawat, dan kalau berangkat beliau mewanti-wanti agar jangan sampai membawa keluarga, sebab keselamatan diri sendiri saja tidak ada yang bisa menjamin.

Karena saya seorang Muslim, saya disarankan untuk berangkat Ke Ambon menggunakan KM. Bukit Siguntang yang nantinya akan berlabuh di Pelabuhan Yos Sudarso, Ambon. Rupanya laut pun sudah terbagi, pelabuhan Yos Sudarso untuk komunitas muslim, dan pelabuhan Halong untuk komunitas Nasrani. Bila saya berangkat menggunakan pesawat udara, maka perjalanan dari Laha (Bandara) menuju Ambon penuh resiko. Akhirnya pilihan berangkat saya putuskan lewat laut via KM. Bukit Siguntang.

Karena saya masih buta sama sekali tentang Ambon dan Maluku, saya berusaha mencari informasi melalui media massa dan buku-buku yang ada kaitannya dengan Maluku. Yang paling penting lagi, istri, anak-anak, Bapak serta Bapak mertua saya mengikhlaskan saya berangkat. Keikhlasan dan iringan doa dari orang-orang terdekat tersebut sangat saya butuhkan sebagai seorang prajurit, karena dengan semua itu dapat membuat saya tenang dan langkah saya mantap menuju daerah penugasan.

Sebelum berangkat, saya mengunjungi beberapa mantan atasan saya, seperti Brigjen TNI Purn. Abdul Aziz dan Kolonel Inf. Teguh untuk meminta nasehat sekaligus berpamitan. Nasehat-nasehat yang mereka berikan memperteguh dan memantapkan tekad saya untuk melaksanakan tugas di Maluku. Pak Aziz bilang,
“ Maluku itu ibarat miniatur Indonesia, penuh dengan keanekaragaman sehingga rentan terhadap konflik. Tidak mudah bertugas disana, tetapi itulah tantangan. Siapa yang sukses melaksanakan tugas disana, maka ia akan sukses juga bila ditugas kan di pusat untuk tugas-tugas yang skupnya nasional. Ini tantangan bagi kamu Srar!”
Sementara nasehat Pak Teguh,
“ Kamu harus bersyukur Srar ditempatkan di Maluku, disana lagi konflik sehingga kamu bisa berbuat sesuatu. Saya sangat prihatin dengan banyaknya jatuh korban di sana.....”

 Memenuhi Panggilan Tugas
Lambaian tangan istri dan anak-anak dihalaman rumah serta sepenggal doa agar yang berangkat dan yang ditinggalkan selalu dalam lindungan Allah SWT, menghantar langkah kaki saya memenuhi panggilan tugas. Dengan mengenakan seragan loreng PDL, berbekal satu pluzak berisi pakaian ganti dan natuna tempur berupa T2 dan TB1 pemberian Brigade, serta 1 duz Supermie, saya tinggalkan kota Bandung yang sejuk menuju kota Ambon yang tengah panas membara.

Entah dengan alasan apa, rekan yang sama ditugaskan ke Ambon seusai kaskus dengan saya tidak satu jadwal keberangkatannya yang berbarengan dengan saya, mungkin karena secara ekonomi mereka lebih beruntung, sehingga besar kemungkinan berangkat dengan pesawat terbang. Sedangkan saya memilih naik kapal laut KM. Bukit Siguntang kelas ekonomi. Ketiadaan rekan yang mendampingi selama perjalanan membuat saya berasa berangkat ke medan operasi seorang diri. Padahal dalam penugasan operasi ke Timor Timur yang pernah saya jalani, saya berangkat dengan rekan-rekan berkekuatan 1 Batalyon.

Karena saya berangkat sendiri tanpa ada rekan menemani, diatas kapal kemudian saya berusaha mencari kenalan, terutama penumpang dengan tujuan Ambon. Lewat kenalan baru yang kebanyakannya adalah pedagang tersebut, saya memperoleh informasi terkait dengan konflik Ambon. Cerita-cerita yang mengerikan tentang berbagai kejadian selama konflik berlangsung mengalir dari mulut mereka, sehingga 4 hari perjalanan dari Tg.Priok meuju Ambon tersebut menambah pengetahuan saya tentang Ambon dan konflik yang tengah terjadi disana.

Saya tidak tahu apakah pada waktu-waktu sebelumnya setiap kapal yang berangkat dar Jakarta menuju Ambon selalu dipadati penumpang. Ynag jelas saat itu saya rasakan penumpang sangat berjubel, digang-gang, dipalka, dikoridor luar, ditangga, semua penuh tumplek oleh penumpang. Kebanyakan mereka lelaki remaja dan dewasa.
“ Aneh, kok kedaerah yang lagi rusuh kapal banyak penumpangnya?” tanya saya dalam hati.
Belakangan baru saya sadari, ternyata diantara penumpang kapal terdapat Laskar Jihad yang tengah menuju Ambon/Maluku dalam rangka membela kaum muslimin yang menurut mereka teraniaya dan nyawanya terancam. Pantas, setiap sholat jamaah musholla dikapal selalu penuh, selalu ada ceramah agama yang intinya mengokohkan iman dan pentingnya jihad dalam islam. Kesan yang religius sangat terasa dalam pelayaran ini, banyak yang berpakaian gamis, membawa Al-Quran kecil membacanya, dan sebgaian berzikir dengan tasbih.

Dalam pelayaran ke Ambon, KM. Bukit Siguntang singgah berlabuh di Tanjung Perak Surabaya, Makassar, dan Bau-Bau. Disetiap pelabuhan saya sempat turun hanya untuk merasa keenakan makanan khas masing-masing tempat. Saat di pelabuhan Bai-Bau, seorang rekan perjalanan melalui Wartel menelpon saudaranya di Ambon. Infonya saat itu Ambon dalam kondisi mencekam, suara tembakan dimana-mana. Asrama Brimob di Tantui yang didiami oleh sekitar 2000an personel Polda Maluku habis musnah terbakar. Gudang senjatanya dibobol massa, bahkan Wadansat Brimob Mayor Pol. Eddy Susanto turut terkorban dalam kerusuhan yang menewaskan sedikitnya 20 orang dan ratusan lagi cedera berat/ringan.

Info keadaan Ambon terkini tersebut dengan cepat menyebar luas ke para penumpang kapal lainnya. Saya merasakan suasana gelisah menghantui para penumpang. Terutama mereka yang tempat tinggalnya di Ambon, perang tengah berkobar, mereka bingung mau pulang kemana. Laskarpun demikian keadannya, meskipun mereka teelah mempersiapkan diri untuk berjihad, kegamangan tetap terpancar diwajah mereka. Maklumlah mereka bukan tentara yang memang disiapkan untuk berperang, dan mereka belum memahami keadaan perang yang sesungguhnya. Saya lihat di antara mereka saling menguatkan diri, kemudian bersikap pasrah terhadap berbagai kemungkinan yang akan terjadi.

Didalam kesendirian dan menghadapi ancaman bahaya didepan mata, serta memperoleh informasi bahwa aparat di Ambon pun sudah terpecah dam memihak, selintas saya sempat berfikir mau tidak mau saya pun harus berpihak juga, yaitu mendukung kelompok putih karena sya beragama Islam. Namun, cepat-cepat pikiran itu saya buang jauh-jauh, saya teguhkan tekad dalam hati,
“ Saya datang bukan untuk membela kelompok putih maupun kelompok merah, saya datang untuk membela merah putih! Dan akan berjuang mewujudkan Maluku yang damai dengan segenap jiwa raga dan kemampuan yang saya punya!”.

 Kapal melewati samudera lepas yang penuh dengan guncangan gelombang dimalam hari. Biasanya saat melewti Laut Banda yang meruoakan laut terdalam di Indonesia para penumpang sudah terlelap tidur, sehingga gelombang yang besar tidak terlalu digelisahkan. Tapi malam itu saya susah tidur, gelisah, mungkin karena memikirkan mau kemana besok saya sesampai di Ambon.

Semakin mendekati Teluk Ambon penumpang kapal semakin gelisah, tak terkecuali sayapun merasakan hal yang sama. Seusai sholat subuh berjamaah berdoa meminta kekuatan dan perlindungan Allah, seragam PDL loreng kembali saya kenakan. Meski tanpa senjata api dan hanya bersenjatakan sebilah sangkur dipinggang, saya kuatkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi.

Melalui pengeras suara, berkali-kali diumumkan keadaan Ambon yang tengah memanas dan kapal hanya akan bersandar sebentar saja di Pelabuhan Yos Sudarso Ambon. Penumpang yang akan turun diminta bersiap-siap dan agar memperhatikan faktor keselamatan sesampai tujuan. Semua penumpang yang di dek luar diperintahkan masuk kedalam kapal untuk menghindari terkena tembakan yang mungkin dilepaskan oleh perusuh di daratan. Diluar sana, kobaran api serta asap hitam membunmbung tinggi ke langit dan beberapa kali terdengar dentuman-dentuman bom rakitan. Sayup-sayup gema suara tembakan memecah kesunyian pagi yang gerimis. Dengan menyandang pluzak dibahu saya berdiri dipintu keluar kapal yang masih tertutup. Seorang polisi pengamanan kapal bertanya kepada saya,
" Didarat tengah perang ndan, apakah Komandan membawa senjata?"
Saya hanya bisa menggeleng sambil berkata,
" Tidak!". Kemudian polisi itu berujar,
" Hati-hati Ndan, keadaan Ambon lagi genting, jaga diri baik-baik".
" Terima kasih pak!" balas saya.

Satpam kapal juga bertanya kepada saya,
" Komandan mau kemana?"
" Mau ke Kodam, tapi saya belum tahu tempatnya, kira-kira dimana ya?" jawab saya.
Satpam tersebut menjawab,
" Wah, jalan ke Kodam sudah dipalang dengan container, tidak bisa lagi kesana, sekarang lagi perang!"
Saya benar-benar bingung mendengar penjelasan tersebut.

Ketika tangga kapal terhubung dengan daratan, dan pintu kapal terbuka, beberapa orang bersenjata dan berpedang terhunus menyerbu masuk. Penampilan mereka beringas seraya berteriak,
" Mana Obet!..Mana Obet!..beta mau bunuh! beta mau potong! Mana?"
Keadaan semakin mencekam. Beberapa orang yang bersenjata pedang terhunus membawa kotak duz karton yang bertuliskan "Sumbangan Untuk Amunisi dan Bom". Polisi dan Satpam pengamanan kapal tidak berkutik. Hanya bisa membiarkan laskar tersebut berkeliling menemui penumpang mengumpulkan sumbangan.

Hujan gerimis pagi hari mulai deras, saya dengan ragu melangkah turun. Untunglah diantara penumpang yang mau turun tersebut terdapat 5 orang personel prajurit Yonif Linud 733. Ketika mereka memberi penghormatan kepada saya, langsung saya sapa,
" Dek, saya baru kali ini ke Ambon, tolong dampingi saya turun".
Mereka langsung menjawab,
" Siap Komandan!"
Dan salah seorang diantara prajurit tersebut tanpa disuruh langsung membantu mengangkat pluzak saya. Tanpa menghiraukan hujan yang belum juga reda, kami berenam menuruni tangga kapal kemudian menuju salah satu emperan gudang di pelabuhan untuk berteduh.

bersambung..

di tulis oleh : Erwin Parikesit
photo : google image
sumber : 
Buku hasil catatan pribadi Letnan Kolonel Caj. Hikmat Israr, terbitan Budaya Media Bandung (2012)

Comments

Popular posts from this blog

Istilah istilah bahasa yang di gunakan Nelayan di Indramayu

perahu jenis jegong yang sedang sandar  Sepertinya saya sudah lama menelantarkan tempat ini... maklum sebagai kuli di pelabuhan perikanan kadang memaksaku untuk melupakan sejenak tempat ini, sebenarnya banyak yang ingin ku tuliskan yang ada di benaku sekarang ini tapi untuk kali ini saya pingin mengenalkan istilah istilah bahasa yang ada di lingkungan Nelayan Indramayu yang bagi saya sangat menarik untuk di kenalkan sebab saya yakin istilah istilah tersebut sekarang ini sudah jarang sekali terdengar bahkan oleh nelayan itu sendiri. 1. Ngracek  istilah ini di gunakan untuk sebuah peroses pembuatan sesuatu baik itu pembuatan Perahu atau jaring  contoh  " tukang sing biasa ngracek perahu sing bagus biasane sing Pasekan artinya tukang pembuat perahu yang baik itu berasal dari Desa Pasekan " " kang luruaken tukang ngracek gah angel temen wis rong dina ora olih olih artinya bang carikan orang pembuat jaring dong sudah dua hari tidak dapat dapat "

tradisi Nadran (sedekah laut )

pelarungan meron nadran empang desa Karangsong 2016 Di sepanjang pesisir utara pulau jawa khususnya di sekitar Cirebon, Indramayu dan subang ada tradisi yang namaya nadranan yakni tradisi membuang meron (sesaji) ke tengah laut sebagai ungkapan rasa syukur terhadap sang pencipta atas di berikannya rizki dan keselamatan dan biasanya di laksanakan menjelang musim barat karena biasanya saat tersebut menjelang musim tangkapan ikan. Nadran sendiri merupakan suatu tradisi hasil akulturasi budaya Islam dan Hindu yang diwariskan sejak ratusan tahun secara turun-temurun. Kata nadran menurut sebagian masyarakat berasal dari kata nazar yang mempunyai makna dalam agama Islam yaitu pemenuhan janji. Adapun inti upacara nadran adalah mempersembahkan sesajen (yang merupakan ritual dalam agama Hindu untuk menghormati roh leluhurnya) kepada penguasa laut agar diberi limpahan hasil laut, sekaligus merupakan ritual tolak bala (keselamatan). Asal usul pelaksanaan budaya Nadran berawal pada tah