prajurit TNI di konflik Ambon |
Makodam mengungsi ke
Mayon
Gema suara adzan subuh, lonceng gereja yang
bertalu-talu, musik rohani yang mendayu-dayu dan dentuman-dentuman bom yang
menggelegar membangunkan saya dari tidur yang kurang nyenyak. Saat terjaga yang
terlihat hanya kegelapan, ternyata dari semalam lampu tak kunjung hidup.
Sejenak saya sempat bingung, tengah berada dimana saat ini karena semua terasa
asing, baik lingkungan maupun aneka macam suara yang terdengar saat itu. Namun
perlahan saya menyadari bahwa inilah hari pertama saya di kota Ambon yang
tengah dilanda konflik.
Usai berwudhu dan menunaikan sholat subuh, saya
berzikir dan berdoa yang intinya agar saya selalu diberi kekuatan, kesabaran,
dan senantiasa dalam lindungan-Nya. Diluar suara tembakan mulai terdengar,
awalnya satu-satu, kemudian ada balasan, selanjutnya mulai ramai. Kebisingan
suara tembakan dari berbagai jenis senjata kembalai mulai meramaikan sekeliling
mess, diselingi suara sirene ambulan yang mungkin tengah melarikan korban
kerusuhan. Pakaian PDL pun kembali saya kenakan, rasanya saya ingin segera
keluar dari mess yang sepertinya terkepung itu. Tapi saya bingung mau kemana?
Kedepan atau kebelakang mess? Semuanya penuh resiko. Karena saya tidak tahu
dimana wilayah kelompok putih dan kelompok merah. Akhirnya saya coba untuk
menenangkan diri, bertahan saja menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Mama-mama yang mengelola dapur mess dan
anak-anaknya sudah kabur entah kemana. Untunglah dimeja ia masih sempat
menyediakan sarapan nasi goreng yang sudah tidak hangat lagi, kemungkinan
dibuat dimalam hari sebelum ia melarikan diri. Dengan terburu-buru nasi goreng
yang tidak jelas rasanya itu saya makan. Yang penting sarapan dulu, setelah itu
terserah apa yang bakal terjadi. Setelah sarapan, saya lihat beberapa perwira
senior gelisah, ada yang berpakaian preman, ada yang mengenakan PDL, Ada juga
yang PDH. Kami sama-sama membungkam tidak tahu apa yang mau diomongkan gemuruh
suara bom dan tembakan semakin menjadi-jadi, malah dengan jelas kami mendengar
suara ledakan mortir!. Sebutir mortir jatuh beberapa puluh meter saja dari mess
kami, suaranya menggelegar, serentak kami tiarap rata dengan lantai.
Seorang perwira memerintahkan semua yang ada di
mess berkumpul. Jumlah kami sekitar belasan orang Ada Asisten, Waas, Kabalak,
dan beberapa Pa Abituren Seskoad yang baru datang. Saya saat itu yang paling
yunior. Kasdam XVI/Pattimura yang baru menjabat, Kolonel Inf. Agus Soeyitno
(Pensiun Letjen TNI) dengan mengenakan PDH dilapisi jaket loreng dan
dipinggangnya terselip sepucuk pistol, memberi pengarahan singkat yang intinya
menyampaikan situasi konflik semakin gawat dan sulit diatasi. Kami diminta
untuk secepatnya meninggalkan mess menggunakan Panser dan Tank yang sudah
disiapkan.
Saya masih berdiri dihalaman depan mess saat
panser tiba menjemput. Ketika saya membantu menaikkan barang seorang perwira
senior, saya diperintahkan untuk langsung ikut juga. Tergopoh gopoh saya
kembali kekamar menyambar pluzak dan lari kembali menuju panser.
Handuk, dan perlengkapan mandi semuanya tertinggal, begitu juga lampu lentera dan lemek alas tidur tak sempat dikemasi. Saya
biarkan saja daripada ketinggalan panser yang akan segera berangkat. Panser
melaju meninggalkan mess, membelah desingan peluru dan dentuman-dentuman mortir
yang mulai berjatuhan bagai hujan.
Penumpang panser tidak ada yang membuka mulut,
semua diam dengan wajah terlihat pucat. Saya tidak tahu panser menuju kemana,
dibalik kaca jendela panser saat meninggalkan mess saya lihat asap membumbung
tinggi di beberapa tempat tidak jauh dari mess. sekelompok orang bersenjata
berlarian sambil melepaskan tembakan-tembakan entah kearah kelompok mana. Satu
Peleton TNI pasukan pengamanan yang ditempatkan didekat mess kami tinggalkan
dengan posisi bertahan dibelakang box pertahanan. Tugas mereka cuma satu,
menjaga dan mempertahankan kediaman Pangdam dari para perusuh sampai ke titik
darah penghabisan!
" Semoga para prajurit itu dapat mengatasi
situasi dan tidak ada jatuh korban", doa saya dalam hati. Beberapa hari
kemudian, saya mendengar kabar kediaman Pangdam dan mess kami dijarah oleh para
perusuh. Nasib 1 Peleton pengaman tersebut tidak kami ketahui.
Panser berhenti,
ternyata kami diungsikan ke benteng Victoria, Markas Yonif Linud 733/Masariku
(saat ini markas Yonif 733 berada di Waiheru). Sebagian pejabat Kodam sudah
disiapkan tempat tinggal sementara di asrama, ada juga perwira yang ditempatkan
di ruangan data dengan menggunakan velbed. Sersan bagian senjata dan amunisi Yonif 733
menemui kami para perwira yang baru datang, menyodorkan kertas blangko yang
harus diisi, blangko tersebut berisi identitas pemegang senjata. Setelah
mengisi, kepada kami masing-masing diserahkan sepucuk senapan serbu M16 berikut
100 butir amunisi, serta empat magazine dan tasnya. Kami beserta seluruh
prajurit Yonif Linud 733 yang tersisa di Mayon memang diperintahkan untuk
bertahan apapun yang bakal terjadi.
Saya sempat bingung ketika menerima senapan dan
amunisi tersebut. " Bukankah saya belum melaksanakan korp lapor dan belum
diterima secara resmi sebagai warga Kodam XVI/Pattimura?" bisik saya dalam
hati. Tapi itulah yang terjadi, keadaan Ambon yang sedemikian gawat tersebut
menuntut segenap perwira Kodam dipersenjatai untuk mempertahankan diri dari
berbagai kemungkinan yang bakal terjadi. Pemberian senjata laras panjang kepada
para perwira memberi isyarat bahwa keadaan Ambon saat itu benar-benar siaga
perang.
Ternyata hari itu, baik Pangdam lama maupun Pangdam
baru, Kasdam dan para Asisten serta Kabalak sudah mengungsi ke Markas Yonif
Linud 733/Masariku. Kesibukan staf hari itu dibantu prajurit 733 meningkat.
Ruang Danyon nerubah menjadi ruang Pangdam, Wadanyon menjadi ruang Kasdam,
ruang-ruang Pasi Batalyon menjadi ruang Asisten. Ruang Data menjadi ruang Pa
Staf lainnya. Ruang Bintal diruang DKT Yon. Bgai saya ini adalah hari pertama
ngantor yang melelahkan, baik fisik maupun psikis. Sementara diluar sana
gemuruh suara tembakan,bom, ledakan mortir masih saja berlangsung, bahkan
semakin meningkat eskalasinya.
Karena dulu di Yonif Linud 432/Kostrad saya pernah
menjabat Pabintal Batalyon, saya yakin di Yonif Linud 733/Masariku tentu ada
juga pejabat Pabintalnya. Maka saya tanyakan kepada prajurit 733 apa di batalyon
ada Pabintalnya? Ketika diberitahu ada, maka prajurit tersebut saya minta untuk
menyampaikan ke Pabintalyon nya agar menghadap saya.
" Masariku!", seorang Letnan Satu
Infanteri berseragam PDL, baret hijau dengan pistol di pinggang menyapa saya,
kemudian dengan gerakan patah-patah menberi hormat.
Setelah penghormatan saya balas ia berujar,
" Izin bang, saya Ali Nurokhim, Pabintalyon
menghadap!"
Saya bertanya lagi untuk meyakinkan diri saya
sendiri.
" Dik, kamu Pabintal disini?",
" Siap bang!"
Saya lalu mengulurkan tangan seraya memperkenalkan
diri. Kemudian saya tanya lagi,
" Saya belum punya tempat istirahat, mungkin
kamu punya saran?"
Tanpa pikir panjang langsung dia menjawab,
" Siap, tinggal dirumah saya saja bang!"
" Wah saya tidak enak merepotkan kamu,
apalagi kamu punya keluarga kan?" ujar saya. Namun dalam kondisi Ambon
yang gawat itu mungkin Pabintal Yon ini prihatin melihat keadaan saya, dan ia
pun berujar,
" Tidak apa-apa bang, saya ada satu kamar
yang kebetulan kosong dan bisa abang pakai"
Saya bersyukur kepada Allah dan berterima kasih
kepada Lettu Inf. Ali nurokhim S. Agserta dan keluarga yang memberi tempat
istirahat kepada saya. Kebetulan posisi rumah Pabintal tersebut mengarah ke
lapangan Merdeka depan Kantor Gubernur Maluku. Didepan rumah tersebut hanya ada
pagar kawat besi sebagai pagar batas komplek,tidak sebagaimana rumah-rumah lain
di asrama yang dibatasi tembok benteng Victoria yang tebal dan kokoh hasil
peninggalan Belanda. Dengan demikian, posisi rumah tersebut dapat dikatakan rawan
karena bila ada tembakan dari luar komplek mengarah ke rumah tersebut, maka
rumah tersebut akan terkena tembakan karena tidak adanya penghalang.
Listik diasrama juga mati, keadaan benteng
Victoria dan kota Ambon pada umunya gelap gulita. Selanjutnya saya memperoleh
informasi tentang konflik Ambon, keadaan saat itu, serta prajurit 733 yang
dikonsinyirkan tidak boleh keluar komplek. Karena, bila keluar komplek, dapat
dipastikan akan terlibat konflik, sebab yang berkonflik dan jadi korban
kebanyakannya adalah masih familia atau saudara-saudara dari prajurit ini yang
kebanyakannya putra Ambon.
Malam beranjak larut. Saya beristirahat dikamar
depan yang posisinya dekat dengan jalan raya. Lampu saya matikan agar cahayanya
tidak dijadikan sasaran bidik. Drai balik kaca jendela saya intip suasana
diluar. Kilatan api moncong senjata berkelebatan dibeberapa tempat bangunan
tinggi, mungkin bangunan hotel, ruko atau gereja. Gemuruh suara tembakan
benar-benar Cumiakkan telinga, disela suara dentang lonceng gereja dan takbir,
serta sirene yang meraung-raung membawa korban.
Prajurit 733 konsinyir dan siaga. Namun malam itu
diperintahkan untuk tidak ada yang mengeluarkan tembakan kecuali atas perintah.
Dalam kegelapan prajurit bersiaga dibelakang tembok pagar dan di belakang
box-box pertahanan. Hanya menyaksikan kota Ambon yang gelap gulita diselingi
kilatan-kilatan cahaya yang berkelebatan dari moncong bedil. Malam itu langit
kota Ambon bagaikan tengah perayaan pesta kembang api.
Sertijab Pangdam di
Ruang Danyon
Pagi hari, Senin 26 Juni 2000 saya yang sudah
mengenakan PDL loreng dapat perintah untuk berganti PDH, selanjutnya berkumpul
diruang Mayon. Ternyata pagi itu akan dilangsungkan acara serah terima jabatan
Panglima Kodam XVI/Pattimura dari Brigjen TNI Max. M. Tamlea kepada Kolonel
Inf. I Made Yasa. Yang hadir tidak banyak, hanya sekitar 20an orang perwira
saja. Kami yang hadir membentuk barisan bersaf dua diruangan tamu Mayon Linud
733.
Saya berdiri bersebelahan dengan Mayor Caj. Ahmad
Khozim, sepintas terlihat ia begitu gelisah. Setelah berkenalan dan berbincang
sesaat, saya jadi tahu kalau ia saat itu mengemban tugas selaku Komandan Satgas
Bintal TNI. Ia gugup dan stress bukan saja karena untuk mencapai benteng
Victoria pagi itu harus melewati jalan-jalan yang berbahaya dan penuh dengan
suara tembakan, tapi juga memikirkan anggota-anggota Satgas yang dipimpinnya
sudah kocar kacir dan tidak dapat lagi ia kendalikan. Saat itu, anggota Satgas
Bintal TNI ada yang masih berada di Ambon, ada yang sudah di Laha, dan mungkin
ada juga yang sudah di Surabaya, terpencar karena masing-masing ingin
menyelamatkan diri. Saya tidak tahu apa pikirannya setelah bertemu dan
berkenalan dengan saya. Boleh jadi dalam hatinya ia berujar,
“ Kasihan nasibmu Srar, Satgas Bintal TNI pada
kocar kacir dan kabur dari Ambon, kamu sebagai Pabintal malah datang kesini.
Apa mau mencari mati?!”. Yang jelas kalimat yang keluar dari mulutnya adalah,
“ Jaga dirimu baik-baik ya dik, semoga Allah SWT
melindungimu” ucapnya dengan nada bergetar.
Perbincangan kami terputus sampai disitu. Acara
Setijab segera dimulai. Tidak ada KASAD apalagi Panglima TNI menghadiri
Sertijab Pangdam XVI/Pattimura tersebut, hanya Sang Saka Merah Putih dan Pataka
Kodam XVI/Pattimura dan kami 20an orang perwira sebagai saksi. Acara Sertijab
Pangdam yang mungkin paling sederhana dan unik sepanjang sejarah di jajaran
TNI-AD, karena dilaksanakan bukan di Makodam atau Mabesad, melainkan justru di
Mayon, tempat dimana sementara waktu Makodam XVI/Pattimura mengungsi.
Karena dalam acara Sertijab tersebut tidak ada
Irup yang akan memasangkan tanda jabatan dan pangkat Panglima, maka Kolonel
Inf. I Made Yasa memasangkan tanda jabatan dan pangkatnya sendiri!. Mungkin
karena bidang bahu beliau yang besar, maka saat menanggalkan dan memasangkan
pangkat sendiri beliau kesulitan. Cukup lama ia coba memasangnya sendiri namun
tidak kunjung bisa, tapi tidak juga ada yang bereaksi untuk membantu beliau,
tidak juga Kowad yang membawa acara. Akhirnya dengan pertimbangan saat itu saya
yang paling yunior dan berada di paling ujung barisan serta hanya berjarak
beberapa langkah dari Panglima, maka dengan inisiatif sendiri saya maju
kedepan, selanjutnya membantu beliau memasangkan tanda pangkat Panglimanya.
Setelah terpasang, saya kembali ketempat dan sesaat kemudian acara Sertijab
yang sederhana itupun berakhir sudah.
Kemudian hari, bahkan sampai sekarang bila
teringat peristiwa tersebut saya jadi geli dan senyum sendiri. Dalam situasi
normal, kejadian seperti diatas tentu tidak mungkin terjadi. Bila kondisinya
bukan darurat dan saya berani-beraninya tampil kedepan memasangkan tanda
pangkat panglima, tentu saya sudah dihajar habis-habisan oleh senior, karena
saya dianggap telah menyalahi aturan upacara militer. Dimana, yang memasangkan
tanda pangkat seorang Pangdam tersebut adalah Panglima TNI atau KASAD. Tapi
karena situasi saat itu di Ambon memang serba darurat, maka apa yang saya
lakukan menjadi sesuatu yang wajar-wajar saja. Tidak ada yang menegur dan
mempersoalkannya. Boleh jadi karena saat itu kami lagi menghadapi persoalan
yang lebih besar, menyangkut hidup dan mati kami didaerah penugasan, serta
beban tugas yang tidak tingan, menghentikan kerusuhan yang tengah merajalela di
Ambon dan Maluku.
Usai acara Sertijab dan bersalaman dengan
terburu-buru, tanpa banyak meninggalkan pesan apa-apa, Brigjen TNI Max M.
Tamlea menuju kenderaan panser yang sudah disiapkan untuk membawanya, sebelum
masuk kenderaan kami sempat berfoto bersama. Namun hingga saat ini saya tidak
tahu entah siapa yang sempat mengabadikan dan menyimpan foto bersejarah
tersebut. Selanjutnya, dengan kawalan Panser dan Tank, mantan Pangdam
XVI/Pattimura tersebut meninggalkan Ambon. Saya dapat merasakan keharuan
diwajah Jenderal putra Ambon tersebut saat ia meninggalkan tanah kelahirannya dalam
keadaan rusuh dan berkobarnya perang. Pangdam XVI/Pattimura yang baru, Kolonel
Inf. I Made Yasa selanjutnya mengumpulkan kami para perwira staf di depan
Mayon. Dalam pengarahan pertamanya, Pangdam meminta kami semua untuk mendukung
kepemimpinanya, meminta kami tidak memihak pada salah satun kelompok, selalu
menjaga netralitas dan solid. Kehadiran beliau yang bukan Muslim dan bukan
Nasrani, tetapi Hindu sebagai Panglima di Maluku, diharapkan mampu bersikap
netral, sehingga pertikaian antara kelompok Muslim dan Nasrani yang berlarut
terjadi di Maluku dapat segera dihentikan. Hari itu saya sempatkan diri
menghadap Kasdam diruang kerja daruratnya untuk laporan korp. Tapi karena
kondisi yang serba darurat, saat itu ia tidak membutuhkan saya untuk laporan secara
formal, intinya ia meminta saya untuk menyesuaikan dan melakukan apa yang dapat
dilakukan.
Sebagaimana layaknya suatu Pos Kotis dalam sebuah
penugasan operasi, maka ruang data kemudian berubah fungsi menjadi semacam
ruangan operasi. Kami menyusun peta dan menempelkannya di dinding, memberi
judul, kordinat, tanda-tanda medan, objek vital, dislokasi satuan, kejadian
yang menonjol, dan berbagai keterangan lainnya. Juga disiapkan pemancar radio
untuk memonitor keadaan dan menerima laporan situasi dari satuan-satuan
dilapangan. Ada beberapa senior tamatan Seskoad yang cukup sibuk saat itu,
sementara saya yang hanyan tamatan Se*lapa hanya membantu-bantu saja. Pokoknya,
apa yang bisa dikerjakan, saya kerjakan!.
Bersambung....
di tulis oleh : Erwin Parikesit
photo : google image
sumber :
Buku hasil catatan pribadi Letnan Kolonel Caj. Hikmat Israr, terbitan Budaya Media Bandung (2012
Buku hasil catatan pribadi Letnan Kolonel Caj. Hikmat Israr, terbitan Budaya Media Bandung (2012
Comments
Post a Comment