Skip to main content

Catatan Prajurit di daerah Konflik #4

prajurit TNI di konflik Ambon 
Makodam mengungsi ke Mayon

Gema suara adzan subuh, lonceng gereja yang bertalu-talu, musik rohani yang mendayu-dayu dan dentuman-dentuman bom yang menggelegar membangunkan saya dari tidur yang kurang nyenyak. Saat terjaga yang terlihat hanya kegelapan, ternyata dari semalam lampu tak kunjung hidup. Sejenak saya sempat bingung, tengah berada dimana saat ini karena semua terasa asing, baik lingkungan maupun aneka macam suara yang terdengar saat itu. Namun perlahan saya menyadari bahwa inilah hari pertama saya di kota Ambon yang tengah dilanda konflik.

Usai berwudhu dan menunaikan sholat subuh, saya berzikir dan berdoa yang intinya agar saya selalu diberi kekuatan, kesabaran, dan senantiasa dalam lindungan-Nya. Diluar suara tembakan mulai terdengar, awalnya satu-satu, kemudian ada balasan, selanjutnya mulai ramai. Kebisingan suara tembakan dari berbagai jenis senjata kembalai mulai meramaikan sekeliling mess, diselingi suara sirene ambulan yang mungkin tengah melarikan korban kerusuhan. Pakaian PDL pun kembali saya kenakan, rasanya saya ingin segera keluar dari mess yang sepertinya terkepung itu. Tapi saya bingung mau kemana? Kedepan atau kebelakang mess? Semuanya penuh resiko. Karena saya tidak tahu dimana wilayah kelompok putih dan kelompok merah. Akhirnya saya coba untuk menenangkan diri, bertahan saja menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Mama-mama yang mengelola dapur mess dan anak-anaknya sudah kabur entah kemana. Untunglah dimeja ia masih sempat menyediakan sarapan nasi goreng yang sudah tidak hangat lagi, kemungkinan dibuat dimalam hari sebelum ia melarikan diri. Dengan terburu-buru nasi goreng yang tidak jelas rasanya itu saya makan. Yang penting sarapan dulu, setelah itu terserah apa yang bakal terjadi. Setelah sarapan, saya lihat beberapa perwira senior gelisah, ada yang berpakaian preman, ada yang mengenakan PDL, Ada juga yang PDH. Kami sama-sama membungkam tidak tahu apa yang mau diomongkan gemuruh suara bom dan tembakan semakin menjadi-jadi, malah dengan jelas kami mendengar suara ledakan mortir!. Sebutir mortir jatuh beberapa puluh meter saja dari mess kami, suaranya menggelegar, serentak kami tiarap rata dengan lantai.

Seorang perwira memerintahkan semua yang ada di mess berkumpul. Jumlah kami sekitar belasan orang Ada Asisten, Waas, Kabalak, dan beberapa Pa Abituren Seskoad yang baru datang. Saya saat itu yang paling yunior. Kasdam XVI/Pattimura yang baru menjabat, Kolonel Inf. Agus Soeyitno (Pensiun Letjen TNI) dengan mengenakan PDH dilapisi jaket loreng dan dipinggangnya terselip sepucuk pistol, memberi pengarahan singkat yang intinya menyampaikan situasi konflik semakin gawat dan sulit diatasi. Kami diminta untuk secepatnya meninggalkan mess menggunakan Panser dan Tank yang sudah disiapkan.

Saya masih berdiri dihalaman depan mess saat panser tiba menjemput. Ketika saya membantu menaikkan barang seorang perwira senior, saya diperintahkan untuk langsung ikut juga. Tergopoh gopoh saya kembali kekamar menyambar pluzak dan lari kembali menuju panser. Handuk, dan perlengkapan mandi semuanya tertinggal, begitu juga lampu lentera dan lemek alas tidur tak sempat dikemasi. Saya biarkan saja daripada ketinggalan panser yang akan segera berangkat. Panser melaju meninggalkan mess, membelah desingan peluru dan dentuman-dentuman mortir yang mulai berjatuhan bagai hujan.

Penumpang panser tidak ada yang membuka mulut, semua diam dengan wajah terlihat pucat. Saya tidak tahu panser menuju kemana, dibalik kaca jendela panser saat meninggalkan mess saya lihat asap membumbung tinggi di beberapa tempat tidak jauh dari mess. sekelompok orang bersenjata berlarian sambil melepaskan tembakan-tembakan entah kearah kelompok mana. Satu Peleton TNI pasukan pengamanan yang ditempatkan didekat mess kami tinggalkan dengan posisi bertahan dibelakang box pertahanan. Tugas mereka cuma satu, menjaga dan mempertahankan kediaman Pangdam dari para perusuh sampai ke titik darah penghabisan!
" Semoga para prajurit itu dapat mengatasi situasi dan tidak ada jatuh korban", doa saya dalam hati. Beberapa hari kemudian, saya mendengar kabar kediaman Pangdam dan mess kami dijarah oleh para perusuh. Nasib 1 Peleton pengaman tersebut tidak kami ketahui.

Panser berhenti, ternyata kami diungsikan ke benteng Victoria, Markas Yonif Linud 733/Masariku (saat ini markas Yonif 733 berada di Waiheru). Sebagian pejabat Kodam sudah disiapkan tempat tinggal sementara di asrama, ada juga perwira yang ditempatkan di ruangan data dengan menggunakan velbed. Sersan bagian senjata dan amunisi Yonif 733 menemui kami para perwira yang baru datang, menyodorkan kertas blangko yang harus diisi, blangko tersebut berisi identitas pemegang senjata. Setelah mengisi, kepada kami masing-masing diserahkan sepucuk senapan serbu M16 berikut 100 butir amunisi, serta empat magazine dan tasnya. Kami beserta seluruh prajurit Yonif Linud 733 yang tersisa di Mayon memang diperintahkan untuk bertahan apapun yang bakal terjadi.

Saya sempat bingung ketika menerima senapan dan amunisi tersebut. " Bukankah saya belum melaksanakan korp lapor dan belum diterima secara resmi sebagai warga Kodam XVI/Pattimura?" bisik saya dalam hati. Tapi itulah yang terjadi, keadaan Ambon yang sedemikian gawat tersebut menuntut segenap perwira Kodam dipersenjatai untuk mempertahankan diri dari berbagai kemungkinan yang bakal terjadi. Pemberian senjata laras panjang kepada para perwira memberi isyarat bahwa keadaan Ambon saat itu benar-benar siaga perang.

Ternyata hari itu, baik Pangdam lama maupun Pangdam baru, Kasdam dan para Asisten serta Kabalak sudah mengungsi ke Markas Yonif Linud 733/Masariku. Kesibukan staf hari itu dibantu prajurit 733 meningkat. Ruang Danyon nerubah menjadi ruang Pangdam, Wadanyon menjadi ruang Kasdam, ruang-ruang Pasi Batalyon menjadi ruang Asisten. Ruang Data menjadi ruang Pa Staf lainnya. Ruang Bintal diruang DKT Yon. Bgai saya ini adalah hari pertama ngantor yang melelahkan, baik fisik maupun psikis. Sementara diluar sana gemuruh suara tembakan,bom, ledakan mortir masih saja berlangsung, bahkan semakin meningkat eskalasinya.

Karena dulu di Yonif Linud 432/Kostrad saya pernah menjabat Pabintal Batalyon, saya yakin di Yonif Linud 733/Masariku tentu ada juga pejabat Pabintalnya. Maka saya tanyakan kepada prajurit 733 apa di batalyon ada Pabintalnya? Ketika diberitahu ada, maka prajurit tersebut saya minta untuk menyampaikan ke Pabintalyon nya agar menghadap saya.

" Masariku!", seorang Letnan Satu Infanteri berseragam PDL, baret hijau dengan pistol di pinggang menyapa saya, kemudian dengan gerakan patah-patah menberi hormat.
Setelah penghormatan saya balas ia berujar,
" Izin bang, saya Ali Nurokhim, Pabintalyon menghadap!"
Saya bertanya lagi untuk meyakinkan diri saya sendiri.
" Dik, kamu Pabintal disini?",
" Siap bang!"
Saya lalu mengulurkan tangan seraya memperkenalkan diri. Kemudian saya tanya lagi,
" Saya belum punya tempat istirahat, mungkin kamu punya saran?"
Tanpa pikir panjang langsung dia menjawab,
" Siap, tinggal dirumah saya saja bang!"
" Wah saya tidak enak merepotkan kamu, apalagi kamu punya keluarga kan?" ujar saya. Namun dalam kondisi Ambon yang gawat itu mungkin Pabintal Yon ini prihatin melihat keadaan saya, dan ia pun berujar,
" Tidak apa-apa bang, saya ada satu kamar yang kebetulan kosong dan bisa abang pakai"

Saya bersyukur kepada Allah dan berterima kasih kepada Lettu Inf. Ali nurokhim S. Agserta dan keluarga yang memberi tempat istirahat kepada saya. Kebetulan posisi rumah Pabintal tersebut mengarah ke lapangan Merdeka depan Kantor Gubernur Maluku. Didepan rumah tersebut hanya ada pagar kawat besi sebagai pagar batas komplek,tidak sebagaimana rumah-rumah lain di asrama yang dibatasi tembok benteng Victoria yang tebal dan kokoh hasil peninggalan Belanda. Dengan demikian, posisi rumah tersebut dapat dikatakan rawan karena bila ada tembakan dari luar komplek mengarah ke rumah tersebut, maka rumah tersebut akan terkena tembakan karena tidak adanya penghalang.

Listik diasrama juga mati, keadaan benteng Victoria dan kota Ambon pada umunya gelap gulita. Selanjutnya saya memperoleh informasi tentang konflik Ambon, keadaan saat itu, serta prajurit 733 yang dikonsinyirkan tidak boleh keluar komplek. Karena, bila keluar komplek, dapat dipastikan akan terlibat konflik, sebab yang berkonflik dan jadi korban kebanyakannya adalah masih familia atau saudara-saudara dari prajurit ini yang kebanyakannya putra Ambon.

Malam beranjak larut. Saya beristirahat dikamar depan yang posisinya dekat dengan jalan raya. Lampu saya matikan agar cahayanya tidak dijadikan sasaran bidik. Drai balik kaca jendela saya intip suasana diluar. Kilatan api moncong senjata berkelebatan dibeberapa tempat bangunan tinggi, mungkin bangunan hotel, ruko atau gereja. Gemuruh suara tembakan benar-benar Cumiakkan telinga, disela suara dentang lonceng gereja dan takbir, serta sirene yang meraung-raung membawa korban.

Prajurit 733 konsinyir dan siaga. Namun malam itu diperintahkan untuk tidak ada yang mengeluarkan tembakan kecuali atas perintah. Dalam kegelapan prajurit bersiaga dibelakang tembok pagar dan di belakang box-box pertahanan. Hanya menyaksikan kota Ambon yang gelap gulita diselingi kilatan-kilatan cahaya yang berkelebatan dari moncong bedil. Malam itu langit kota Ambon bagaikan tengah perayaan pesta kembang api.

Sertijab Pangdam di Ruang Danyon


Pagi hari, Senin 26 Juni 2000 saya yang sudah mengenakan PDL loreng dapat perintah untuk berganti PDH, selanjutnya berkumpul diruang Mayon. Ternyata pagi itu akan dilangsungkan acara serah terima jabatan Panglima Kodam XVI/Pattimura dari Brigjen TNI Max. M. Tamlea kepada Kolonel Inf. I Made Yasa. Yang hadir tidak banyak, hanya sekitar 20an orang perwira saja. Kami yang hadir membentuk barisan bersaf dua diruangan tamu Mayon Linud 733.

Saya berdiri bersebelahan dengan Mayor Caj. Ahmad Khozim, sepintas terlihat ia begitu gelisah. Setelah berkenalan dan berbincang sesaat, saya jadi tahu kalau ia saat itu mengemban tugas selaku Komandan Satgas Bintal TNI. Ia gugup dan stress bukan saja karena untuk mencapai benteng Victoria pagi itu harus melewati jalan-jalan yang berbahaya dan penuh dengan suara tembakan, tapi juga memikirkan anggota-anggota Satgas yang dipimpinnya sudah kocar kacir dan tidak dapat lagi ia kendalikan. Saat itu, anggota Satgas Bintal TNI ada yang masih berada di Ambon, ada yang sudah di Laha, dan mungkin ada juga yang sudah di Surabaya, terpencar karena masing-masing ingin menyelamatkan diri. Saya tidak tahu apa pikirannya setelah bertemu dan berkenalan dengan saya. Boleh jadi dalam hatinya ia berujar,
“ Kasihan nasibmu Srar, Satgas Bintal TNI pada kocar kacir dan kabur dari Ambon, kamu sebagai Pabintal malah datang kesini. Apa mau mencari mati?!”. Yang jelas kalimat yang keluar dari mulutnya adalah,
“ Jaga dirimu baik-baik ya dik, semoga Allah SWT melindungimu” ucapnya dengan nada bergetar.

Perbincangan kami terputus sampai disitu. Acara Setijab segera dimulai. Tidak ada KASAD apalagi Panglima TNI menghadiri Sertijab Pangdam XVI/Pattimura tersebut, hanya Sang Saka Merah Putih dan Pataka Kodam XVI/Pattimura dan kami 20an orang perwira sebagai saksi. Acara Sertijab Pangdam yang mungkin paling sederhana dan unik sepanjang sejarah di jajaran TNI-AD, karena dilaksanakan bukan di Makodam atau Mabesad, melainkan justru di Mayon, tempat dimana sementara waktu Makodam XVI/Pattimura mengungsi.

Karena dalam acara Sertijab tersebut tidak ada Irup yang akan memasangkan tanda jabatan dan pangkat Panglima, maka Kolonel Inf. I Made Yasa memasangkan tanda jabatan dan pangkatnya sendiri!. Mungkin karena bidang bahu beliau yang besar, maka saat menanggalkan dan memasangkan pangkat sendiri beliau kesulitan. Cukup lama ia coba memasangnya sendiri namun tidak kunjung bisa, tapi tidak juga ada yang bereaksi untuk membantu beliau, tidak juga Kowad yang membawa acara. Akhirnya dengan pertimbangan saat itu saya yang paling yunior dan berada di paling ujung barisan serta hanya berjarak beberapa langkah dari Panglima, maka dengan inisiatif sendiri saya maju kedepan, selanjutnya membantu beliau memasangkan tanda pangkat Panglimanya. Setelah terpasang, saya kembali ketempat dan sesaat kemudian acara Sertijab yang sederhana itupun berakhir sudah.

Kemudian hari, bahkan sampai sekarang bila teringat peristiwa tersebut saya jadi geli dan senyum sendiri. Dalam situasi normal, kejadian seperti diatas tentu tidak mungkin terjadi. Bila kondisinya bukan darurat dan saya berani-beraninya tampil kedepan memasangkan tanda pangkat panglima, tentu saya sudah dihajar habis-habisan oleh senior, karena saya dianggap telah menyalahi aturan upacara militer. Dimana, yang memasangkan tanda pangkat seorang Pangdam tersebut adalah Panglima TNI atau KASAD. Tapi karena situasi saat itu di Ambon memang serba darurat, maka apa yang saya lakukan menjadi sesuatu yang wajar-wajar saja. Tidak ada yang menegur dan mempersoalkannya. Boleh jadi karena saat itu kami lagi menghadapi persoalan yang lebih besar, menyangkut hidup dan mati kami didaerah penugasan, serta beban tugas yang tidak tingan, menghentikan kerusuhan yang tengah merajalela di Ambon dan Maluku.

Usai acara Sertijab dan bersalaman dengan terburu-buru, tanpa banyak meninggalkan pesan apa-apa, Brigjen TNI Max M. Tamlea menuju kenderaan panser yang sudah disiapkan untuk membawanya, sebelum masuk kenderaan kami sempat berfoto bersama. Namun hingga saat ini saya tidak tahu entah siapa yang sempat mengabadikan dan menyimpan foto bersejarah tersebut. Selanjutnya, dengan kawalan Panser dan Tank, mantan Pangdam XVI/Pattimura tersebut meninggalkan Ambon. Saya dapat merasakan keharuan diwajah Jenderal putra Ambon tersebut saat ia meninggalkan tanah kelahirannya dalam keadaan rusuh dan berkobarnya perang. Pangdam XVI/Pattimura yang baru, Kolonel Inf. I Made Yasa selanjutnya mengumpulkan kami para perwira staf di depan Mayon. Dalam pengarahan pertamanya, Pangdam meminta kami semua untuk mendukung kepemimpinanya, meminta kami tidak memihak pada salah satun kelompok, selalu menjaga netralitas dan solid. Kehadiran beliau yang bukan Muslim dan bukan Nasrani, tetapi Hindu sebagai Panglima di Maluku, diharapkan mampu bersikap netral, sehingga pertikaian antara kelompok Muslim dan Nasrani yang berlarut terjadi di Maluku dapat segera dihentikan. Hari itu saya sempatkan diri menghadap Kasdam diruang kerja daruratnya untuk laporan korp. Tapi karena kondisi yang serba darurat, saat itu ia tidak membutuhkan saya untuk laporan secara formal, intinya ia meminta saya untuk menyesuaikan dan melakukan apa yang dapat dilakukan.

Sebagaimana layaknya suatu Pos Kotis dalam sebuah penugasan operasi, maka ruang data kemudian berubah fungsi menjadi semacam ruangan operasi. Kami menyusun peta dan menempelkannya di dinding, memberi judul, kordinat, tanda-tanda medan, objek vital, dislokasi satuan, kejadian yang menonjol, dan berbagai keterangan lainnya. Juga disiapkan pemancar radio untuk memonitor keadaan dan menerima laporan situasi dari satuan-satuan dilapangan. Ada beberapa senior tamatan Seskoad yang cukup sibuk saat itu, sementara saya yang hanyan tamatan Se*lapa hanya membantu-bantu saja. Pokoknya, apa yang bisa dikerjakan, saya kerjakan!.
Bersambung....


di tulis oleh : Erwin Parikesit
photo : google image
sumber : 
Buku hasil catatan pribadi Letnan Kolonel Caj. Hikmat Israr, terbitan Budaya Media Bandung (2012

Comments

Popular posts from this blog

Catatan Prajurit di daerah Konflik #2

Penempatan di Maluku Saya hubungi lewat telepon Kabintaldam XVI/Pattimura, Letkol Caj. Telelapta, mengabari bahwa saya Kapten Caj. Hikmat Israr dapat tugas jabatan sebagai Kabalak Binatal Bintaldam XVI/Pattimura, dan melaporkan akan berangkat ke Ambon setelah ada Surat Perintah pelepasan dari Pangdam III/Siliwangi dan dari Danbrigif 15 Kujang Siliwangi. Saya tidak tahu apakah Kabintal merasa cemas atau gembira dengan rencana kedatangan saya ke Ambon tersebut. Yang jelas ia mengemukakan situasi Ambon saat itu sangat-sangat gawat, dan kalau berangkat beliau mewanti-wanti agar jangan sampai membawa keluarga, sebab keselamatan diri sendiri saja tidak ada yang bisa menjamin. Karena saya seorang Muslim, saya disarankan untuk berangkat Ke Ambon menggunakan KM. Bukit Siguntang yang nantinya akan berlabuh di Pelabuhan Yos Sudarso, Ambon. Rupanya laut pun sudah terbagi, pelabuhan Yos Sudarso untuk komunitas muslim, dan pelabuhan Halong untuk komunitas Nasrani. Bila saya berang

Istilah istilah bahasa yang di gunakan Nelayan di Indramayu

perahu jenis jegong yang sedang sandar  Sepertinya saya sudah lama menelantarkan tempat ini... maklum sebagai kuli di pelabuhan perikanan kadang memaksaku untuk melupakan sejenak tempat ini, sebenarnya banyak yang ingin ku tuliskan yang ada di benaku sekarang ini tapi untuk kali ini saya pingin mengenalkan istilah istilah bahasa yang ada di lingkungan Nelayan Indramayu yang bagi saya sangat menarik untuk di kenalkan sebab saya yakin istilah istilah tersebut sekarang ini sudah jarang sekali terdengar bahkan oleh nelayan itu sendiri. 1. Ngracek  istilah ini di gunakan untuk sebuah peroses pembuatan sesuatu baik itu pembuatan Perahu atau jaring  contoh  " tukang sing biasa ngracek perahu sing bagus biasane sing Pasekan artinya tukang pembuat perahu yang baik itu berasal dari Desa Pasekan " " kang luruaken tukang ngracek gah angel temen wis rong dina ora olih olih artinya bang carikan orang pembuat jaring dong sudah dua hari tidak dapat dapat "

tradisi Nadran (sedekah laut )

pelarungan meron nadran empang desa Karangsong 2016 Di sepanjang pesisir utara pulau jawa khususnya di sekitar Cirebon, Indramayu dan subang ada tradisi yang namaya nadranan yakni tradisi membuang meron (sesaji) ke tengah laut sebagai ungkapan rasa syukur terhadap sang pencipta atas di berikannya rizki dan keselamatan dan biasanya di laksanakan menjelang musim barat karena biasanya saat tersebut menjelang musim tangkapan ikan. Nadran sendiri merupakan suatu tradisi hasil akulturasi budaya Islam dan Hindu yang diwariskan sejak ratusan tahun secara turun-temurun. Kata nadran menurut sebagian masyarakat berasal dari kata nazar yang mempunyai makna dalam agama Islam yaitu pemenuhan janji. Adapun inti upacara nadran adalah mempersembahkan sesajen (yang merupakan ritual dalam agama Hindu untuk menghormati roh leluhurnya) kepada penguasa laut agar diberi limpahan hasil laut, sekaligus merupakan ritual tolak bala (keselamatan). Asal usul pelaksanaan budaya Nadran berawal pada tah